(refleksi Minggu, Pekan Biasa V-B, 04 Februari 2024)
Ayub 7:1-4.6-7
1Korintus 9:16-19.22-23
Markus 1:29-39
Dunia tampakan ‘keindahan’ pada satu sisi, namun di sisi lainnya ‘wajah bumi yang terluka’ tak dapat disembunyikan. Bagi sekian banyak orang, hidup tak lebih bagai jalan panjang penuh derita, di bawah garis rata-rata yang normal; serba kurang dan bahkan bagi sekian banyak sesama, sedikitpun tak ada. Dan lagi, hidup tak beralamat pasti teramat sering jadi beban batin tanpa kepastian pijakan jiwa dan raga. Kelompok ‘manusia apung’ di tengah lautan dan barisan panjang ‘manusia hijrah’ selalu rindukan ‘tanah harapan.’
Sakit dan derita, haus dan lapar, miskin, dingin dan panas sudah tersimpul jelas pada tubuh kurus, pucat pasi wajah penuh keluh dan bibir gemetaran. Ini semua bukanlah lukisan fantasia. Itulah wajah bumi manusia yang terluka.
Dunia yang terluka pun tampak dalam hancurnya alam lingkungan. Alam sepertinya tak ramah lagi. Kita telah kehilangan lukisan alam Firdaus, ketika pada awal “Allah melihat semuanya baik adanya….” Mari kita pulang kepada diri sendiri. Jangan salahkan siapa-siapa atau sebatas saling mempersalahkan!
‘Hidup penuh saing tak sehat’ telah menggiring kita pada tidak saling menyingkirkan bahkan saling menghancurkan. Perang, pertikaian, berbagai tindak kekerasan dan tekanan telah lumpuhkan manusia dalam derita panjang, sakit, dan situasi serba kekurangan. Alam pun menjadi ‘terluka oleh keserakahan dan ketamakan hati manusia.’ Hutan dibabat tanpa cita rasa bersahabat dengan alam untuk kemudian manusia sendirilah yang mesti hanyut tersapu banjir bandang.
Mari renungkan jeritan pilu Ayub yang tumpahkan rasa hati penuh galau. Hidup penuh derita dengan hari dan malam yang menampar keras dengan segala kesia-siaan, kesusahan dan kegelisahan. Simpul suara menyayat Ayub terucap pada sahabatnya, “Ingatlah bahwa hidupku hanyalah hembusan napas. Mataku tidak lagi melihat yang baik” (Ayub 7:7).
Di zaman Yesus, Tuhan dan Guru, ada sekian banyak orang “yang menderita bermacam-macam penyakit dan kerasukan setan” (Mrk 1:32). Tidak kah di zaman ini tumpukan sakit dan penderitaan tetap menanti momentum pembebasan? Tidak kah di hari-hari ini belenggu kuasa setan tetap memborgol kebebasan citra dan martabat manusia?
“Belenggu kuasa setan itu ada dalam harta, pangkat, kuasa, kesenangan tanpa henti,” kata Paus Fransiskus. Adakah getaran jiwa, suara hati, spirit penuh keberanian dan perjuangan serta pengorbanan demi dunia yang terluka? Ketika sungguh ada kesediaan untuk bersuara dan bertindak demi “yang tak beruntung nasibnya? Yang hidup dalam ketakpastian nasib?
Suara Rasul Paulus, tak hanya jadi ungkapan ‘kesetiaan, keberanian serta pengorbanan demi Injil bagi sesama.’ Tetapi keyakinannya juga menjadi panggilan bagi Gereja, bagi kita semua. Pemberitaan Kabar Baik, yang meneguhkan, yang memberikan pengharapan bagi Rasul Paulus “adalah segala-galanya” (1Kor 9:23). Memberitakan Injil bagi Rasul Paulus adalah “keharusan baginya, dan sungguh merupakan aib kerasulan jika sekiranya ia tak wartakan Injil” (cf 1Kor 9:16).
Ke dunia yang terluka, di situlah kita di utus. Kita tak pernah diutus Tuhan untuk kemudian kita ‘membangun alam dan rasa nyaman baru bagi diri sendiri.’ Kita tak pernah diutus Tuhan demi sebuah nama besar dan pencitraan yang berujung pada kepentingan sendiri.
Kepada Simon dan kawan-kawan, Yesus, Tuhan, justru menantang agar mereka pun segera bergerak pindah. Sebab katanya, “Marilah kita pergi ke tempat-tempat lain, ke kota-kota sekitar ini, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, sebab untuk itulah Aku telah datang.” (Mrk 1:38).
Tuhan telah datang! Tuhan telah tunjukan jalan ke mana kita harus berlangkah. Itulah dunia yang terluka, dunia yang terabaikan. Sebab di situlah Kabar Baik dan Tindak Pengharapan mesti dinyatakan.
Tetapi, setidak-tidaknya, di mana kita berada, biarlah kita ‘tak saling mengasingkan dan menyudutkan. Tak saling membelunggu dalam rasa benci dan tak suka. Iya, untuk tak saling melukai. Agar tak semakin panjangmelebarlah dunia yang (memang) telah derita, sakit dan terluka ini.’
Kita dipanggil untuk membawa Kabar Penuh Harapan…
Verbo Dei Amorem Spiranti
Ayo baca juga yang ini;
https://www.indonesiana.id/read/170560/layanan-pastoral-ekologi-integral-diimplementasi-di-paroki-ekaristi-kudus-ka-redong-tahun-2024
Pater Kons Beo, SVD |
Mari kita renungkan kata-kata St. Arnoldus Janssen (perayaan 15 Januari):
- Pendiri SVD : 1875
- Pendiri SSpS : 1889
- Pendiri SSpS-Ap : 1896
- "Tabahkanlah hatimu dengan gembira, jangan merasa cemas bila salib-salibmu sering-sering terlalu kasar, terlalu berat dan tajam pada sisi-sisinya. Semuanya akan berakhir, tapi ganjaran yang abadi tak kan ada kesudahannya."
- "Teguhkanlah hatimu dan percayalah kepada Allah. Sesudah hari-hari gelap akan menyusul hari-hari cerah. Anggaplah semuanya ini sebagai hal yang pasti."
- Sebagaimana seorang pengemis tidak dapat menyombongkan diri, kalau ia menerima pemberian-pemberian yang besar, demikian pula kita tidak boleh bersikap angkuh atas anugerah-anugerah Allah."
- "Berbahagialah orang yang tidak takut untuk hidup dalam ribuan pengorbanan dan kekurangan demi memperoleh banyak orang bagi Kristus."
- "Semakin banyak kita menghormati ROH KUDUS, kita semakin layak untuk menerima karunia-karuniaNYA."
St. ARNOLDUS JANSSEN,
DOAKANLAH KAMI
AMIN
Ayo Baca juga yang ini; Renungan Harian Katolik; MEMANG Itulah Kenyataan Hidup Yang Mesti Dihadapi
Ayo Baca juga yang ini; Renungan Harian Katolik; Bahaya Perangai Kasar, Nalar Semestinya Sehat
Baca juga di sini, Kisah Tentang Kita ;
Adalah Koperasi Simpan Pinjam Inklusi di Manggarai, 25 orang Penyandang Disabilitas telah menjadi Anggota KSP Credit Union Florette: Menyediakan Pinjaman Berbunga Rendah, melakukan Upaya Pemberdayaan Sosial Ekonomi (bisnis) dan mengajarkan Literasi/Melek Keuangan. Kerja sama dengan Yayasan Ayo Indonesia (Rumah Belajar) |
0 Komentar