Header Ads Widget

Satu Permenungan IMAN KATOLIK; Pentekosten Dan Kisah Berbahasa Kita


Pentekosten dan Kisah Berbahasa Kita



-satu perenungan di hari Pentekosten-


“...Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupah Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh terjadi demikian”

(Yakobus 3:9-10)



P. Kons Beo, SVD


Baca juga yang ini sangat menarik: Renungan Harian Katolik: KEHADIRAN YANG MEMBAWA KETEGUHAN HATI DAN HARAPAN IMAN

“Selama Masa Adven kita seperti orang-orang yang berkumpul di sekeliling ranjang, menunggu kelahiran. Tetapi kedatangan Tuhan bukan sekedar kelahiran seorang anak, melainkan datangnya sabda. Katakanlah kedatangan suatu bahasa…” Yesus, adalah Pribadi ilahi, Sabda yang berinkarnasi. “Firman yang telah menjadi Manusia dan diam di tengah-tengah kita.”

Hidup, Pribadi Yesus, dan seluruh peristiwa hidup Yesus terangkum dalam Kisah Berbahasa yang agung. Baik dalam bahasa lisan dalam segala pengajaranNya, maupun melalui bahasa tindak, sikap dan perbuatanNya.

Kisah agung berbahasa dalam Yesus itu, dalam tantanan manusiawi, membawa setiap manusia kepada dua hal mendasar. Pertama, untuk menyapa manusia untuk kembali sebagai citra Allah sendiri. Sebab itulah ‘bahasa Yesus adalah bahasa belaskasih, pengampunan, penerimaan, pemahaman, memanggil pulang.’

Kedua, bahasa Yesus itu adalah bahasa yang ‘memperjumpakan manusia satu sama lain.’ Itulah bahasa komunio, bahasa persatuan. Yesus mengajarkan dan menunjukkan sikap bahwa ‘manusia harus saling menerima.’ Kunci pengajaran dan bahasa utama yang diterima kita manusia dari Tuhan adalah Bahasa Kasih. Dalam bahasa dan tindak Kasih selalu ada keberanian untuk merangkum dan merangkul dunia dan sesama.

Tetapi, apakah bahasa Yesus itu menjadi bahasa keseharian manusia? Tantangan demi tantangan serta kejatuhan ‘dalam berbahasa tutur dan berbahasa sikap kerap menjadi panorama gulita hidup manusia. Kita bisa memakai bahasa Rasul Paulus sebagai ‘bahasa keinginan daging’ : percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal 5:19-21).

Dalam dunia yang semakin berkembang, ketika manusia dihantui oleh degradasi kualitas relasi satu dengan yang lain yang kabur, lisan dan sikap yang sungguh dihantui oleh badai kepalsuan, tipu daya, penghinaan atau berbagai tindak koruptif lainnya.

Apa yang dilukiskan oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Galatia, bisa menjadi satu alarm bagi alam kehidupan bersama. Tulisnya, “Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh, dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki” (Gal 5:25-2).

Tetapi, tak boleh disepelekan tentunya gelombang iklanisasi kata-kata dari panggung, mimbar, podium, mobil komando yang menggelegar atau pun sedap terdengar telinga, namun sebenarnya meracuni di ruang rasa batin. Manusia dan masyarakat dunia bisa terkecoh oleh kamuflase PHP (Pemberi Harapan Palsu) yang meyakinkan namun semua itu pada waktunya tinggal cerita hati yang luka.

Manusia bisa ‘terjun bebas dalam situasi retak dan khaos’ akibat peluru kata-kata yang berdaya rusak, penuh hasutan (provokatif), mengobarkan amarah dan benci. Karena kata-kata dan sikap yang berdaya rusak ini kita manusia pasti kehilangan momentum penuh rahmat dalam kebersamaan, dalam rasa penuh kerukunan dan rasa kekeluargaan. Kita kehilangan keberanian dan kesanggupan untuk ‘saling memandang dalam bola mata kasih dan penuh kerinduan.’

Baca juga yang ini sangat menarik:Renungan Harian Katolik; Berkomunikasi Dengan Hati Dapat Mengekang Eskalasi Perang

Tetapi, kisah Pentekosten, Roh Kebenaran itu, mengajak kita semua untuk pulang, untuk mengingat kembali bahasa Yesus di dalam seluruh pribadiNya yang agung:

“Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; Sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang” (Yoh 16:13).

Kisah Pentekosten adalah kisah berbahasa yang mempertautkan hati segenap bangsa. Ketika keragamanan asal, latar belakang, budaya, ada dan kebiasaan, dipersekutukan dalam bahasa Pentekosten yang mencerahkan dan mendatangkan sukacita. Kemampuan berbahasa dalam ilham Roh Kudus menyangkupkan Para Rasul yang dari Galilea itu mempersatukan bangsa-bangsa: “Partia, Media, Elam, Mesopotamia, Yudea, Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, Roma, orang Kreta dan orang Arab” (cf Kis 2:8-11).

Menjadi murid Yesus (Gereja) dalam semangat Pentekosten berarti siap diutus untuk memakai ‘bahasa baru selalu dan harus dalam bahasa Yesus yang mempersatukan.’

Tetapi Gereja, setiap kita, murid Yesus, tentu akan sanggup berbahasa benar, tepat dan sungguh dapat dimengerti oleh dunia dan siapapun sesama, hanya ketika sanggup masuk dan berinteraksi dalam kenyataan hidup sesama.

Hanya dengan ‘masuk dan diam’ kita akan sanggup mendengar suara dunia dan sesama yang paling suram dan lemah sekalipun. Sayangnya, bila kita tak sanggup bertahan di dalam kenyataan hidup sesama atau kita abaikan kehadiran sesama itu. Jadinya kita hanya sebatas ‘berkomentar lepas kontrol’ yang tak menghiraukan situasi dan keadaan, dan bahkan tak mempertimbangkan martabat pribadi sesama.

Dalam semangat Pentekosten dan kisah yang berbahasa baru yang dialami para Rasul, semoga segala ungkapan berbahasa kita dapat menyentuh rasa, hati dan hidup sesama. Demi membawa ke alam sukacita, penuh harapan, dan semangat baru.

Semoga kisah berbahasa baru dalam semangat Pentekosten sungguh menjadi antitesis – perlawanan dari bahasa rancu – berantakan dari Bahasa Menara Babel (Kejadian 11). Dan kita segera tinggalkan bahasa dan kata-kata, ataupu apapun ‘peristiwa bawa mulut kita’ yang meretakkan dan memecahkan! Itulah spirit perutusan dalam spirit “Firman telah menjadi manusia dan tinggal di tengah-tengah kita.“

Verbo Dei Amorem Spiranti


Posting Komentar

0 Komentar