Header Ads Widget

Satu Permenungan; Pertobatan Saulus menuju Paulus, kiranya tidaklah jadi satu kisah lurus dan tunggal

“Saulus, Saudaraku….”

Kisah Para Rasul 9:17

(sekedar satu goresan)

P. Kons Beo, SVD




Saat dapatkan mandat itu dari Tuhan, Ananias sekian cemas. Ia berkilah, “Tuhan, dari banyak orang telah kudengar tentang orang itu, betapa banyak kejahatan yang telah dilakukannya terhadap orang-orang kudusMu di Yerusalem…” (Kis 9:13).



Kisah lama si Saulus itu memang mencemaskan. Baginya, darah dan kekerasan adalah kelumrahan. Sebagai turunan asli Yahudi, orang Tarsus, dari suku Benyamin, serta berpendidikan, Saulus punya tujuan lurus dan murni demi Israel. Iya, demi penegakan marwah Taurat dan tradisi Yahudi yang ketat.



Sepertinya, bagi Saulus, “di luar Yahudi semuanya kafir. Dan karenanya halal darahnya di mata pedang.” Tertulis jelas, “...dengan hati berkobar-kobar Saulus mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan..” (Kis 9:1).

Maka, tidak kah Ananias sekian gelisah? Dia yang sungguh sangar dan menakutkan itu, mestikah kini harus didekati? Bayangkan saja satu pergulatan batin yang mesti dialami Ananias. Harus kah ia melawan perintah Tuhan? Bunyi perintah itu jelas, “Ananias, pergilah ke jalan yang bernama Jalan Lurus, dan carilah di rumah Yudas seorang dari Tarsus yang bernama Saulus…” (Kis 9:11).



Cahaya yang memancar dari langit, rebahnya Saulus ke tanah, serta suara yang terdengar, “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” adalah dinamika awal sebuah ‘jalan hidup baru’ yang mesti disusuri Saulus.

Namun, dengan tangan siapa kah Saulus harus berjalan bersama? Ia yang ‘telah terjatuh dari kuda kekerasan, dan buta dalam memandang hidup’ kini mesti dituntun menuju Cahaya Hidup yang sesungguhnya. Dan Tuhan telah menunjuk Ananias itu.



Pertobatan Saulus menuju Paulus, kiranya tidaklah jadi satu kisah lurus dan tunggal. Yang hanya menyangkut jalan batin Saulus itu. Tidak! Sebab, Ananias pun mesti bertarung dalam rasa cemas penuh kepikiran untuk berubah.



Ananias, kini, tidak boleh terpaku pada telinga yang mendengar kisah lama penuh suram tentang Saulus. Namun, ia kini harus dengan rendah hati mendengarkan suara Tuhan. Dan suara Tuhan itu, baginya, sepantasnya jadi awal baru dalam memandang dan menilai.

Di hidup ini, siapa pun kita tak pernah surut dalam satu pertarung batin. Antara apa yang kita dengar, apa yang kita rekam, dan terolah jadi satu sikap dan penilaian secara manusiawi kini mesti berhadapan dengan Yesus, Tuhan yang kita imani dalam kuasa KasihNya.



Kisah pertarungan batin Ananias bisa menjadi gambaran pergulatan batin siapapun. Menyembah Yesus sebagai ‘Sumber Kasih yang mengubah’ terkadang tak semudah seperti yang dikotbahkan. Apakah kita bertahan dalam daraskan iman akan Kasih Tuhan, dengan sebuah cara pandang dan isi menilai ‘yang itu-itu saja?’



Sebab, kita bisa bertahan pada nyanyian iman ‘Yang lama, yang tidak diganti serta tidak diperbaharui...’ Satu tesis iman praktis individualistik yang sungguh tak menolong budi. Dalam memandang dunia dan sesama dalam kacamata dan sudut tilik yang baru.

Ananias mesti dibimbing Tuhan, agar ia pun miliki keberanian di hati dan di jiwa untuk ‘dekati manusia pedang kekerasan, si Saulus itu.’ Itulah yang jadi inspirasi dasar bagi kerapuhan jiwa, hati dan mental kita. Untuk dinutrisi dari kekuatan dan kebesaran daya kasih Tuhan sendiri.



Terlalu lemah kekuatan hati kita untuk mengubah cara pandang kita yang suram terhadap sesama. Sebab, kita mudah sekali untuk melekat pada isi tembang “Biarlah yang hitam menjadi hitam. Jangan harapkan jadi putih...” Sungguh, kita mesti merindukan kehadiran Roh Kudus dalam diri kita. Roh Kudus yang memperbaharui dunia luar dan dunia batin diri sendiri.

“Dan sanggup kah Anda untuk menuntun kembali saudaramu yang tak disukai, dibenci, yang menakutkan, yang telah bikin ‘makan hati,’ yang sudah cemar dan tak sedap nama baiknya, yang selalu bikin onar dan eror, yang punya litania panjang dari segala yang merugikan....?”



“Jalan, kebenaran dan hidup Tuhan” (cf Yoh 14:6) telah jalan-kebenaran-dan hidup Ananias. Dan, karena itulah, pada momentum penuh rahmat itu, Ananias disanggupkan untuk berseru dengan sapan penuh kasih:

“Saulus, Saudaraku, Tuhan Yesus, yang telah menampakkan diri kepadamu di jalan yang engkau lalui, telah menyuruh aku kepadamu, supaya engkau dapat melihat kembali dan penuh dengan Roh Kudus”
(Kis 9:17)



Anda orang baik, orang benar, orang saleh, orang yang hidup lurus dan tak cemar! Tinggal saja Anda mendengarkan kembali suara Tuhan yang berseru kepada Ananias itu. Dan Anda disanggupkan untuk mendekatkan diri pada sesama yang tak sedap hidupnya, agar “sesama dapat melihat kembali dan penuh dengan Roh Kudus…”



Jika tidak demikian, kita hanya berputar-putar pada retorika dan narasi usang. Yang itu-itu saja. Yang jadi andalan cerita suram kita. Mari kita pergi “ke Jalan yang bernama Jalan Lurus” untuk berani menyapa saudara-saudari kita semuanya. Dengan sebuah hati nan tulus, ikhlas dan gembira. Sebab, kita semua adalah saudara-saudari dalam kelana hidup ini.



Verbo Dei Amorem Spiranti

Pada Pesta Bertobatnya Santo Rasul Paulus,
Rabu, 25 Januari 2023

Posting Komentar

0 Komentar