Header Ads Widget

Satu Permenungan; Laga Hidup Mati.

Laga Hidup Mati (sekedar satu sisipan)




P. Kons Beo, SVD) Sungguh satu rasa hati penuh sukacita. Tak peduli, entah jadi pimpinan grup. Atau pun 'sekedar' di tempat kedua. Intinya, terhitung telah masuk lingkaran 16 besar adalah kebanggaan.




Namun, sejak saat fase 16 besar itulah rasa penuh bangga itu mesti dijaga. Laga hidup-mati mesti dimainkan. Sebab mesti ada yang dinyatakan 'menang' dari apa yang disebut 'kalah.' Pun sama sebaliknya.




Maka arena laga, stadion, segera jadi arena saling jagal. Atau bertarung jadi pemenang, atau sebaliknya jadi korban. Di stadion, batas antara menang dan kalah cuma berdurasi 90 menit plus waktu tambahannya.


Semua mesti berpacu dalam waktu. Untuk berharap tiba pada puncak kemenangan. Tetapi, bukankah saat masuk arena laga, 22 pemain itu rela 'titipkan dulu rasa sukacita dan harapan' pada penyelenggara?


Tetapi, itu sebenarnya ironi dari sepakbola. Semisal bola yang sudah dikuasai sepenuhnya. Namun ia mesti dijarakkan. Disepak menjauh untuk dikejar-kejar lagi. Seperti itu pula tim yang mesti rela lepaskan sementara rasa sukacita. Lalu berharap kuat untuk meraihnya kembali.


Maka, stadion benar-benar jadi arena duel seru. Tak ingin rasa sukacita itu dirampas pergi begitu saja. Stadion benar-benar jadi arena judi perasaan, harga diri dan nama besar. Di situ, batas antara senyum-tawa dan pahit di hati begitu tipis. Antara sukacita dan tunduk terlesu sekian ringkih.

Stadion adalah arena batasan yang mesti jadi jelas dan pasti. Antara kedua tim, dan antara para pemain dan suporternya. Namun, stadion juga adalah batasan dua aroma hati penuh rasa berseberangan.


Sebab di arena laga, stadion, misalnya, Neymar dkk bisa saja berkreasi dalam goyang Samba seterusnya. Sebab, semuanya bisa segera berubah pada titik paling berlawanan. Neymar dkk, di stadion itu, mesti rasakan pahitnya kekalahan. Brazil, sebenarnya, tak dihakimi siapa-siapa. Mereka hanya dihakimi oleh sukacitanya sendiri. Sebuah nilai yang teramat mahal harganya Harga satu pertandingan hidup-mati seakan tak mau peduli dengan 'nama besar tim mana pun.' Ia memangsa siapapun yang tak cerdas dan yang tak berjuang. Bahkan ia bisa membatalkan satu kemenangan yang telah di depan mata.



Di laga hidup mati, sederetan tim, satu demi satu pasti akan gugur. Tertunduk lesu. Dan akan tinggalkan stadion. Tak hanya membekaskan stadion dengan keringat bercucuran. Sebab mesti ada linangan air mata yang membasahi.


Dan pada akhir ceritanya nanti, hanya ada satu yang menjadi juaranya. Sebab, semua yang lainnya hanya sisakan air mata. Hanya air mata. Iya, termasuk Ronaldo, CR 7, yang telah tinggalkan kenangan penuh pilu. Dan mungkin untuk perhelatan Piala Dunia terakhirnya baginya?

Jika dunia ini, adalah satu stadion penuh pertarungan kehidupan, maka di situlah kisah-kisah rasa hati kita mudah berubah. Sejenak kita bisa menari, namun sejenak pula kita bisa pula 'terkubur' dalam tangisan. Bagaimanapun semuanya mesti terjadi.


Tak ada yang dapat membatalkannya. Sebab, untuk semuanya, "HANYA TUHAN yang tahu. Apa gerangan yang bakal terjadi lagi...?"


Verbo Dei Amorem Spiranti


Posting Komentar

0 Komentar