Header Ads Widget

Pojok KITAB SUCI; Penyakit Kusta? Tuhan ‘Tidak Anggap Memang!’

Bacalah Injil Lukas 17:11-19


“Tidak ada akhir yang menyedihkan bagi mereka yang sungguh percaya akan kuasa Tuhan”
(Anonim)

P. Kons Beo, SVD


Baca juga yang ini; Renungan Harian Katolik; Kita rindu ada bersama orang lain

Mari tatap diri sendiri


Mari kita mulai belajar melihat ‘diri dan jalan hidup kita sendiri.’ Awali semuanya dalam satu keyakinan bahwa hidup ini adalah rahmat. Mari teguhkan kekuatan dalam diri bahwa kita berziarah dalam kelimpahan berkat Tuhan. “Dari Tuhan, rahmat itu cukup bagiku.” Sederhana saja, bukan?

Titik tolak kita adalah, sekali lagi, ‘mulailah dari diri sendiri.’ Allah pasti memberikan yang terbaik bagi kita. Setiap kita ada di dalam kasih, kemurahan dan penyelenggaraanNya. Tak ada yang kurang.

Jangan berhenti ucapkan syukur

Maka, mari kita belajar untuk masuk dalam ‘alam rasa syukur dan terimakasih.’ Syukurilah atas rahmat kehidupan ini. Bersyukurlah akan bakat dan kesanggupan yang kita miliki. Bersyukurlah akan segala keberhasilan dan cita-cita yang telah kita gapai.

Berterimakasihlah karena bisa berjumpa dengan sekian banyak orang baik. Bersyukurlah akan keadaan kesehatan yang meyakinkan. Bersyukurlah atas segala pengalaman, baik yang indah maupun yang suram, sebab darinya kita dapat menangkap pesan-pesan kehidupan.

Saat kita gagal, terluka dan ‘berkusta’?

Tetapi, harus kah kita mengutuki kisah kemalangan? Dan terus meratapi nasib yang dirasa tak mujur, segala kegagalan, serta setiap ketidakhebatan yang kita alami? Dan bagaimana kah sikap batin yang mesti dimiliki dalam suasana penuh suram?

Baca juga yang ini; Renungan Harian Katolik: TUHAN adalah sumber rejeki kita

Mari kita renungkan sekadarnya tapak-tapak pergulatan hidup sepuluh (10) orang kusta, yang menemui Yesus.

Pertama, “Yesus menyusuri perbatasan Samaria dan Galilea” (Luk 17:11).

Kusta itu punya konsekwensi sosial. Karena kusta maka jarak tegas dan jelas mesti tercipta. Penderita mesti dijauhkan dan diasingkan dari masyarakat umum. Mungkin saja, tanpa diasingkan pun para penderita kusta sudah pada tahu diri untuk jauhkan diri sendiri dari suasana umum.

Tetapi, adakah titik harapan untuk kembali? Untuk ‘masuk dan terhitung kembali dalam hidup sosial?’ Sepuluh orang kusta itu akhirnya temukan momentum rahmat. Saat Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea.

Kita bisa saja, dalam jalan hidup yang suram ini, alami suasana terpenjara dalam alam keterasingan dan ratapan kepedihan. Saat kita hanya membelenggu diri sendiri dengan rantai-rantai pengandaian yang berat dan tak pasti. Sepertinya tak ada lagi sedikitpun celah untuk masuk ke dalam harapan hidup (baru).

Tetapi, tidak kah kita sadari bahwa “Yesus sendiri pun tengah melintas dalam seluruh perjalanan hidup kita?” Bahwa Yesus, Tuhan, sebenarnya tengah hadir tepat dalam segala suram yang tengah dialami? Dan mengapa kah kita nampaknya kurang ‘menangkapNya dalam seruan penuh harapan?’
Sepuluh orang kusta itu punya ketajaman batin untuk ‘memandang Tuhan yang berjalan menyusuri…’ Kusta, keterasingan dan kesendirian tak boleh dilihat sebagai akhir dari segalanya. Renungkanlah! Bukan kah sepuluh orang kusta itu tak mau membiarkan Tuhan berjalan lewat begitu saja di perbatasan Samaria dan Galilea?

Baca juga yang ini; Satu Permenungan: Angels Unawares: Ke mana kah Arah Perahu?

Adakah kita selalu ‘membiarkan Tuhan lewat tanpa sesuatu yang indah yang mesti ‘ditangkap dan diambil dariNya?’ Mari kita bergerak dalam episode berikutnya.

Kedua, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (Luk 17:13).

Jarak fisik yang ‘berseberangan atau katakan jauh’ antara sepuluh orang kusta dan Yesus dijembatani dengan seruan. Pengucilan atau terhempas dari relasi umum masyarakat tidak membatalkan keyakinan mereka. Harapan di dalam Yesus lebih kuat dari stigma sosial yang ketat dan keras.

Seruan itu juga dapat dipandang sebagai kesadaran akan kerapuhan diri. Tak ada lagi yang ‘indah dan menarik’ dari keadaan diri yang tercemar oleh penyakit kusta. Lalu kepada siapa kah mereka mesti ungkapkan rasa ketakberdayaannya.
Ungkapkan “kasihanilah kami” tentu mesti menjadi ungkapan dan pengakuan kita yang tulus atas segala kerapuhan dan ketidakberdayaan kita. Saat sekian banyak ‘variasi kusta’ telah menggerogoti jalan hidup kita sendiri.

Ketika tak ada lagi sandaran untuk berharap pada siapapun, maka kita mesti berjuang untuk ‘beranikan dan kuatkan diri sendiri untuk ‘berteriak pada Tuhan.’ Toh, sepuluh orang kusta tentu mendidik jalan iman pribadi setiap kita untuk “mengibah pada karunia dan belaskasih Tuhan.”

Tentu, kepasrahan pada Tuhan menuntut keberanian dan kerendahan hati pula. Keangkuhan diri bahwa ‘sama sekali tak berkusta’ adalah halangan terbesar untuk tiba pada takhta kerahiman Yesus, Guru dan Tuhan.

Ketiga, “Sementara dalam perjalanan, mereka menjadi sembuh….” (Luk 17:14)

Kesepuluh orang kusta sungguh jadi sembuh. Mereka menjadi tahir kembali. Kesembuhan mereka tidak disebabkan oleh tujuan perjalanan mereka menuju para imam. Bukan. Tetapi, mereka bersepuluh itu menjadi sembuh sungguh karena siapa yang menyuruh atau atas perintah siapa mereka bergerak untuk menuju.

‘Di perjalanan mereka menjadi sembuh’ itu sebenarnya ingin tegaskan bahwa Yesus, sang Guru-lah, yang menjadi kekuatan utama kisah penyembuhan itu. Dan bukanlah kuasa para imam yang nantinya menyatakan bahwa “kalian telah sembuh…”

Bisa terjadi, dalam hidup ini terdapat sekian banyak perjuangan untuk diakui dan dibenarkan bahwa ‘kita telah sembuh, bahwa kita orang baik-saleh dan benar.’ Jika yang terjadi seperti ini, maka betapa gerak hati ini hanyalah sebatas perjuangan untuk dicitrakan oleh orang lain.

Baca juga yang ini; Renungan Harian Katolik; JALAN kepada kehidupan kekal adalah KASIH

Barangkali di situlah letak perbedaan sikap antara ‘Orang Samaria yang kembali kepada Yesus dan sembilan sahabatnya yang bergerak terus untuk menjumpai (para) imam.” Dan apakah yang dapat kita tangkap dan renungkan dari si Samaria yang kembali pulang pada Yesus?

Keempat, “Ia lalu sujud di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepadaNya” (Luk 17:16).
Dalam keadaan duka, sedih, bersengsara atau bernasib tak mujur, apa pun kelompok manusia sering bisa mudah merasa senasib dan sepenanggungan. Itulah solidaritas dalam derita dan keterjepitan hidup. Dalam keadaan masih sama-sama derita, sepuluh orang kusta itu masih dalam satu suara penuh harapan akan kesembuhan.

Namun, lihatlah saat telah mengalami kesembuhan. Hanya satu yang kembali kepada Yesus. Lukisannya bahwa “..kembali memuliakan Allah dengan suara nyaring…” Nyaring tak hanya ketika ia bersama sembilan sahabatnya memohon untuk disembuhkan, tetapi ia pun tetap nyaring secara pribadi untuk bersyukur pada Tuhan.

Kembali pada keyakinan pribadiku

Kembalinya si Samaria yang telah disembuhkan itu kepada Yesus bisa direnungkan sebagai ‘gema iman yang kokoh dalam satu pengalaman pribadi. Ia ‘putuskan kembali pada Yesus sebagai sumber dari kisah penyembuhannya.’ Ia bukan siapa-siapa dan telah ‘mati dalam masyarakat.’ Selain kusta yang najis itu, ia juga turunan serta kelompok orang Samaria yang tak diperhitungkan dalam masyarakat Yahudi.

Tetapi, semuanya dialaminya dalam kasih Tuhan yang sungguh dahyat. Sebab itulah “tak mungkin bahwa ia tak kembali pada Yesus.” Semuanya mesti ia meterai dalam rasa syukur yang tak terhingga. Dan pada titiknya, bukan kata-kata Yesus, pada akhirnya, lebih memberikan kepadanya keyakinan yang lebih besar?

“Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (Luk 17:19) Adakah yang mesti kita ragukan di dalam keberserahan diri yang sungguh pada Tuhan? Kita tak selamanya terperangkap oleh nasib tak menentu. Apa pun yang dianggap ‘tak mungkin dan tak jelas di mata dunia’ di dalam keyakinan akan Kasih Tuhan, tentu akan berujung ceriah.

Akhirnya…

Bayangkan! Kusta, penyakit maut dan mematikan itu, ya ‘bahwa seorang kusta sudah mati dalam relasi sosial,’ menjadi ‘tak berarti di hadapan cinta dan belaskasih Tuhan. Tuhan, sekali lagi, melampaui semua yang tak mungkin. Sungguh, mau keadaan sakit apapun, termasuk kusta, “Tuhan tidak anggap memang…”

Tetapi, bagaimana pun, tetap ada pertanyaan penuh tantangan: “Apakah kita sanggup rendahkan diri untuk kuat berseru kepadaNya atas variasi kusta lainnya yang kita alami?” Cinta Tuhan selalu lebih teduh, teguh dan bening untuk memandang kita yang rapuh ini. Sebab, cinta Tuhan tetaplah bening. Sebening embun di pagi hari!

Bukan kah demikian?

Verbo Dei Amorem Spiranti
Selamat Hari Minggu,
Tuhan memberkati.Amin



Pater Kons Beo, SVD

Mari kita renungkan kata-kata St. Arnoldus Janssen (perayaan 15 Januari):
  1. Pendiri SVD        :  1875
  2. Pendiri SSpS       :  1889
  3. Pendiri SSpS-Ap :  1896
  1. "Tabahkanlah hatimu dengan gembira, jangan merasa cemas bila salib-salibmu sering-sering terlalu kasar, terlalu berat dan tajam pada sisi-sisinya. Semuanya akan berakhir, tapi ganjaran yang abadi tak kan ada kesudahannya." 
  2. "Teguhkanlah hatimu dan percayalah kepada Allah. Sesudah hari-hari gelap akan menyusul hari-hari cerah. Anggaplah semuanya ini sebagai hal yang pasti."
  3. Sebagaimana seorang pengemis tidak dapat menyombongkan diri, kalau ia menerima pemberian-pemberian yang besar, demikian pula kita tidak  boleh bersikap angkuh atas anugerah-anugerah Allah."
  4. "Berbahagialah orang yang tidak takut untuk hidup dalam ribuan pengorbanan dan kekurangan demi memperoleh banyak orang bagi Kristus."
  5. "Semakin banyak kita menghormati ROH KUDUS, kita semakin layak untuk menerima karunia-karuniaNYA."

St. ARNOLDUS JANSSEN,
DOAKANLAH KAMI
AMIN


Paroki Ekaristi Kudus Ka Redong, Minggu (10/3/2024) menyelenggarakan pertemuan pastoral untuk membentuk kepanitian Prosesi Sakramen Maha Kudus (Juni 2024) dan Perayaan Pesta Intan (75 tahun) Paroki Ekaristi Kudus Ka Redong pada bulan juni tahun 2025, bertempat di Pendopo Pastoran.

Pertemuan dihadiri oleh Pator Paroki, Dewan Inti Pastoral, utusan komunitas Biara Suster (KFSA/PSM/AHKYB/PSM), Ketua Wilayah (Woang/Redong/Perumnas), Utusan dari Kelompok Katergorial (Vanclar/KTM/Legio Maria/OMK). Jumlah mereka sebanyak 35 orang.






Yayasan Ayo Indonesia atas dukungan Missionprokur SVD Steinhauzen - Swiss melakukan suatu survei pasar untuk mengetahui pasokan dan permintaan sayur-sayuran di Pasar Lembor, Ruteng, dan Borong. Hasil survei ini kemudian menjadi acuan dalam menyusun suatu panduan pola dan waktu tanam yang terfokus pada pasar  

Pohon Mangga ini tumbuh baik hingga saat ini di kebun salah satu keluarga di Paroki Lengkong Cepang. Benihnya disediakan oleh Program kerjasama Yayasan Ayo Indonesia dengan Missionprokur SVD Steinhauzen - Swiss, tahun 2014. Didokumentasikan oleh Stef Jegaut, Selasa (15/8/2023) 




Pada program Pemberdayaan Sosial-Ekonomi, kerjasama Yayasan Ayo Indonesia dengan Missionprokur SVD Steinhauzen - Swiss tahun 2014, salah satu kegiatannya, adalah mempromosikan pembuatan Toilet dan Septik Tank menggunakan bambu untuk menggantikan fungsi besi beton, ternyata masih bertahan kuat sampai saat ini di Lengkong Cepang. Didokumentasikan oleh Stef Jegaut,Selasa (15/8/2023).

Adalah Koperasi Simpan Pinjam Inklusi di Manggarai, 25 orang Penyandang Disabilitas telah menjadi Anggota KSP Credit Union Florette: Menyediakan Pinjaman Berbunga Rendah, melakukan Upaya Pemberdayaan Sosial Ekonomi (bisnis) dan mengajarkan Literasi/Melek Keuangan. Kerja sama dengan Yayasan Ayo Indonesia (Rumah Belajar)


Jasa Rental Kendaraan untuk Anda, Kami Siap Melayani dengan HATI:



Ayo Merawat Bumi, Rumah Kita Bersama
Paroki Ekaristi Kudus Ka Redong

Posting Komentar

0 Komentar