Header Ads Widget

Kemiskinan Dan Kurangnya Ketersediaan Lapangan Kerja Menyebabkan Peluang Kasus Perdagangan Orang Semakin Meningkat.

Laporan Pelatihan Identifikasi dan Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang


Peserta Pelatihan Identifikasi dan Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

umpungjayasiar.com, Labuan Bajo. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) dan International Organizatin For Migran (IOM), tanggal 5-7 oktober 2022, menyelenggarakan pelatihan Indentifikasi dan Penanganan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Kegiatan pelatihan ini dilaksanakan di Hotel Sylvia, Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat, dihadiri oleh 31 perwakilan anggota GT-PPTPPO Kabupaten Manggarai yang berasal dari 25 lembaga di Kabupaten Manggarai.

Tujuan dari kegiatan pelatihan, yaitu 1) meningkatkan kapasitas anggota GT-PPTPPO dalam mengidentifikasi korban TPPO, perlindungan saksi dan restitusi (ganti rugi) bagi korban TPPO; 2) Meningkatkan Pemahaman anggota GT-PPTPPO tentang mekanisme rujukan daerah dalam penangan kasus TPPO dan Penuntutan Kasus TPPO, 3) mengidentifikasi kaitan antara kasus TPPO dan Kejahatan terkait lainnya.

Gambaran Umum Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Teknik Identiifikasi Korban TPPO


Kegiatan ini diawali dengan penyajian materi tentang gambaran umum kasus TTPO yang dipaparkan oleh Handrianus S Hevendari dari DP3A dan Kopnaker Kabupaten Manggarai.

Menurut Handri Perdagangan orang, adalah tindak perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasa, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan dalam negaran maupun antar negara untuk tujuan eksplotasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Lebih lanjut Handari menguraikan bahwa ada 3 unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yaitu Proses, Cara dan Tujuan.

Unsur proses, kata Handri, adalah perlakuan awal yang dilakukan pelaku TPPO. Ada beberapa hal yang biasa dilakukan oleh pelaku, yaitu merekrut calon korban, mengangkut, memindahkan atau menyembunyikan korban. Sedangkan unsur cara, tuturnya, adalah untuk mengendalikan korban, Para pelaku melakukannya dengan cara menipu, mengiming-imingi korban dengan gaji atau fasilitas yang mewah. Selain itu, pelaku juga melakukan pendekatan secara budaya/adat.

Yang terakhir, ujarnya adalah unsur tujuan. Dimana Tujuan utama dari para pelaku adalah mengeksploitasi korban, baik ekploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan maupun bertujuan untuk pengambilan organ tubuh. Upaya tersebut dilakukan adalah untuk menguntungkan pelaku dan merugikan para korban. Jika ketiga unsur di atas terdapat dalam suatu kasus, lanjutnya, maka sudah dipastikan bahwa kasus tersebut merupakan kasus TPPO.

“Untuk korban yang berumur di bawah 18 tahun, jika memenuhi 2 unsur saja sudah termasuk dalam kasus TPPO,”tegasnya.

Lebih jauh dia memaparkan, faktor ekonomi merupakan faktor utama atau alasan yang sering melatarbelakangi kasus-kasus TPPO. Kemiskinan dan kurangnya ketersediaan lapangan kerja menyebabkan peluang kasus TPPO semakin meningkat.

Selain faktor ekonomi, jelas Handri, ada juga faktor ketidaksetaraan gender dimana nilai sosial budaya patriaki yang masih kuat menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan yang berbeda dan tidak setara, hal ini menyebabkan perempuan kurang memilik akses, kesempatan dan kontrol atas pembangunan yang adil dan setara laki-laki.
“Faktor Penegak Hukum juga ikut mempengaruhi terjadinya kasus TPPO. Belum maksimal penegakan hukum sehingga menciptakan celah hukum yang menguntungkan bagi pelaku TPPO,” ungkap Handri

Bagaimana dengan kabupaten Manggarai, apakah ada kasus TPPO ?


Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah dengan jumlah kasus TPPO terbanyak di Indonesia. Faktor ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan peluang terjadinya kasus TTPO cukup tinggi. Masyarakat kurang memiliki wawasan sehingga sangat berpeluang untuk terjebak dalam kasus TPPO .

Kabupaten manggarai telah menjadi salah satu kabupaten penyumbang angka kasus TPPO di Nusa Tenggara Timur. Menurut data yang dikumpulkan oleh Susteran Gembala Baik - Yayasan Weta Gerak, ternyata ada 60 kasus TPPO, sejak tahun 2007 – 2022. Hal ini disampaikan oleh Sr. Gabriella Mahos, RGS pada pelatihan tersebut. Adapun data untuk kasus tersebut, jelas Suster Gabriella kepada para peserta pelatihan, yang terhimpun oleh pihak Kepolisian Resort Manggarai, sejak tahun 2012 – 2022, jumlah kasus TPPO ada 78 kasus, yang paling banyak terjadi di wilayah Satar Mese dan Cibal Barat.
“Ini merupakan angka kasus yang sangat tinggi, perlu ada kerja sama dari berbagai pihak untuk menangani kasus TPPO di Manggarai ”ajak Suster Gabriela.

Menyikapi persoalan ini, katanya, kami sangat membutuhkan bantuan kerja sama dari berbagai lembaga dalam menangangi korban-korban kasus TPPO, terutama pada pelayanan reintegrasi korban. Membimbing korban agar mereka bisa kembali dalam lingkungannya.
Pada sesi berikutnya, Antonius Habun, Kanit PPA Polres Manggarai menyampaikan bahwa kasus TPPO di manggarai terus terjadi, hal ini disebabkan oleh faktor dari korban itu sendiri, kadang korban dengan sadar untuk terlibat dalam kasus human trafficking. Selain itu, korban juga menganggap pihak penegak hukum menghalangi niat baik mereka untuk mencari pekerjaan

Selama ini, ungkap Anton, korban-korban dari kasus TPPO Manggarai ditangani oleh Yayasan Wetak Gerak. Yayasan Weta Gerak mendirikan Shelter bagi korban kasus TPPO, untuk memberikan Konseling, Terapi (healing), dan monitoring. Selain itu, mereka juga memberi pelatihan untuk meningkatkan keterapilan dalam hal bertani dan tenun bagi korban TPPO.

Layanan Bagi Saksi Dan Korban Kasus TPPO di Kabupaten Manggarai


Kegiatan pelatihan diakhir dengan menyepakati komitmen untuk menetapkan Stakeholder Assasement di Kabupetan Manggarai yang bertanggungjawab untuk memberikan pelayanan bagi saksi dan korban kasus TPPO di Manggarai, yaitu; 1) Layanan Rehabilitas Kesehatan : Pelayanan Non Kritis, Pelayanan Semi Kritis, Pelayanan Kritis dan Pelayanan medikolegal, 2) Layanan Rehabilitas Sosial : Konseling Awal, Konseling Lanjutan, Bimbingan Mental/Spiritual, Pendampingan dan Rujukan, 3)Layanan Hukum: Konseling Hukum, Perlindungan Saksi dan Korban, Pendampingan pembuatan Berita Acara Perkara, penyelidikan, penyidikan di kepolisian, pendampingan Restitusi, penyediaan Ahli, Bantuan Hukum, 4) Layanan Pemulangan : dari luar negeri, di dalam negeri dan korban WNA, 5) Layanan Reintegrasi Sosial : penyatuan dengan keluarga/keluarga pengganti, pemberdayaan ekonomi dan sosial, pendidikan , mentoring/ bimbingan lanjutan.

Erik Raja Bhoja, selaku panitia penyelenggara menyampaikan harapannya bahwa komitmen dalam bentuk pembagian peran dari pihak-pihak dapat membantu saksi dan korban ke depannya. Selain itu, dengan adanya stakeholders assesment ini, setiap institusi atau lembaga yang masuk dalam anggota GT-PPTPO kabupaten Manggarai dapat memahami dan terlibat langsung dalam tugas pelayanannya.

(Johan_Mada/Ayo Indonesia)

Posting Komentar

0 Komentar