Header Ads Widget

Renungan Harian Katolik; KITA sering bertengkar karena kita tidak mau merasa kalah dan tak mau dikalahkan.

Senin, 26 September 2022 (Pekan Biasa XXVI, St Damianus, St Kosmas, St Paulus VI-Paus ke 262)
Bacaan I Ayub 1:6-22
Mazmur Tanggapan Mzm 17:1.2-3.6-7
Injil Lukas 9:46-50

...tentang siapa yang terbesar di antara mereka..." Luk 9:46
(...quis eorum maior esset)

RIBUT-RIBUT itu tak terhindarkan. Ada pertengkaran di antara para murid. Tema yang berujung konflik itu adalah "tentang siapa yang terbesar di antara mereka" (Luk 9:46).

INI sebenarnya bicara tentang posisi. Tentang kedudukan! Tak terkecuali tentang 'siapa yang lebih punya pengaruh di antara mereka.' Ambisi jadi yang terbesar memang kencang berhembus.

YESUS sepantasnya berikan arahan pasti pada para muridNya. Tindakan Yesus mengambil seorang anak kecil isyaratkan 'ketulusan dan kerendahan hati.' Menerima seorang anak kecil berarti pula menjadikan 'anak kecil sebagai spirit dan citra hidup.'
DI DALAM hidup bersama dalam tingkatan apa saja, terkadang mengambil sikap merendah hati dianggap 'kalah dan tak berdaya.' Siapa kah yang mau didakwah sebagai pribadi atau kelompok yang 'kalah dan tak berdaya?' Rasanya sulit untuk sampai pada tingkatan kesadaran seperti itu.

KITA sering bertengkar karena kita 'tidak mau merasa kalah dan tak mau dikalahkan.' Apalagi jika kita sudah patokan diri dan kelompok sendiri sebagai 'group hebat, terseleksi, pilihan dengan banyak unsur kelebihannya.'

BAGI kita meraih posisi 'siapa yang terbesar' adalah perjuangan tanpa henti. Hidup itu kompetitif. Penuh persaingan! Takhtakan diri dan kelompok sendiri di atas semua mesti jadi cita-cita. Dan orang lain mesti jadi rendah atau direndahkan. Dan ini mesti jadi perjuangan dengan segala kecerdikan manuvernya. Sebab itu, "Menjadi yang terbesar atau pemenang" seringkali memakai cara-cara kasar dan licik untuk menekan yang lain. Yang dianggap pesaing.

HIDUP itu perjuangan! Kita memang harus jadi pemenang. Namun tanpa harus merendahkan; kita memang bertarung untuk jadi yang terbesar. Namun tanpa harus 'mengempeskan dan membantai pribadi sesama sekian kasar.'

PERTENGKARAN untuk menjadi 'yang terbesar' memang sering jadi ajang gontok-gontokan. Keras dan liar. Punya kita harus diproklamasi penuh unggul di segala lini. Sementara yang lain mesti diberitakan penuh warna gelap dan suram.
KITA memang harus berlaku seperti 'anak kecil dan sanggup menerima keadaan seorang anak kecil.' Bebas dari pencitraan diri murahan. Luput dari segala ambisi liar yang tak beraturan.

KITA kembali pada marwah 'yang terbesar dalam Tuhan.' Dan itu ditemukan dalam sikap melayani penuh kerendahan hati. Dalam pengingkaran diri. Tanpa andalkan berbagai atribut kebesaran dan gelar-gelar kehormatan tempelan.
BIARLAH semuanya lahir indah dari dalam diri kita apa adanya. Dengan segala kesederhanaan dan kerendahan hati. Biarlah kita biar berjuang dari ketidakhebatan, dari serba kekurangan, keterbatasan dan bahkan dari kelemahan diri sendiri.

TAK usah 'ribut-ribut dan mempertengkarkan yang fana.' Namun biasanya yang rasa diri hebat dan punya banyak kelebihan begitu gelisah akan posisi 'yang terbesar' ketimbang 'orang yang memang tahu diri biasa-biasa dan punya banyak ketidakhebatannya dan kekurangannya.'

Bukan kah begitu?

Verbo Dei Amorem Spiranti 
Tuhan Memberkati.Amin.

Posting Komentar

0 Komentar