Header Ads Widget

Pojok KITAB SUCI; “Bahayanya Perangkap Pakaian Ungu dan Kain Halus serta Kemewahan”

“Bahayanya Perangkap Pakaian Ungu dan Kain Halus serta Kemewahan”
-Bacalah Lukas 16:19-31-

“Cinta dan perhatian tidak berharga, kecuali jika dibagikan….”
(George Shinn, pemilik klub basket, Amerika, 1941)

P. Kons Beo, SVD


Baca juga yang ini; Renungan Harian Katolik; KARENA kemanusiaan pula, kita tak luput dari segala rasa miris di hati

Mari buka mata hati

Ini soal perhatian kita pada sesama. Belaskasih dan kemurahan, bertindak penuh kasih dan perhatian, serta berbuat yang terbaik demi orang lain adalah satu Panggilan Cinta untuk berbagi. Namun, sekian mudah kah sikap-sikap penuh perhatian terhadap sesama?



Dunia jadi hidup dan berkembang karena daya dan aura Kasih! Di situ, saling memperhatikan jadi satu kekuatan. ‘Yang berpunya’ miliki hati untuk memperhatikan sesama yang memang ada ‘di bawah garis hidup di bawah rata-rata.’ Yang punya kuasa sungguh miliki komitmen untuk menyelenggarakan hidup yang adil dan merata bagi semua.



Tetap ada tantangan

Namun, “panggilan cinta untuk berbagi” ternyata bukanlah hal yang mudah. Terdapat sekian banyak hal yang jadi halangan untuk memperhatikan nasib hidup orang lain. Salah satu halangan terbesar adalah ‘kekuatiran teramat sangat akan diri sendiri.’

Baca juga yang ini; Satu permenungan : Pada Akhirnya Kita toh Tetap Seperti Ini

Yakinlah bahwa ketika ego-diri ditakhtakan sebagai centro (pusat) kehidupan, maka perhatian terhadap sesama dikaburkan dan menjadi kabut. Kegelisahan hingga pada diri sendiri sehingga, sungguh, yang dipikirkan hanyalah ‘bagaimana melayani diri yang gelisah.’ Untuk tak sanggup lagi melihat sesama dan alam di sekitar.

Menyimak kata-kata Tuhan

Mari kita renungkan apa yang diajarkan Yesus, Tuhan dan Guru, dalam episode “Orang Kaya dan Lazarus yang miskin.” 
Pertama,
“Jarak itu telah tercipta di dunia.” Kisah tentang si Kaya dan si Lazarus miskin adalah cerita tentang ‘sebuah gaya dan jarak hidup yang berbeda dan berseberangan.’ Yesus lukiskannya secara jelas untuk dapat ditanggap.

“Hidup dalam kemegahan pakaian ungu dan halus serta serba mewah” yang dipertentangkan dengan “kemiskinan teramat sangat yang dialami si Lazarus.” Sebab yang dimiliki Lazarus hanyalah “badannya yang penuh borok.” Keadaan penuh derita yang mesti dialami.

Tetapi, adakah hal istimewa yang dapat direnungkan dari si miskin, Lazarus? Sedikitpun ia tak iri dan hendak memberontak terhadap si kaya. Tak ada niat untuk ‘menghabisi si kaya.’ Malah, ia masih tetap berharap untuk bisa bertahan hidup ‘dan ingin menghilangkan laparnya dari apa yang jatuh dari meja orang kaya itu’ (Luk 16:20).

Mungkin agak berlebihan pula untuk lukiskan bahwa si Lazarus ‘walau cuma punya borok menjijikkan di tubuhnya, namun hal itu sudah cukup untuk puaskan anjing-anjing yang datang dan menjilatinya.’ Dalam keadaan paling pahit, kekurangan dan nyaris tak berpunya, lihatlah, masih tetap ada orang-orang yang punya hati bagi ‘yang di luar dirinya.’ Apakah ‘anjing-anjing adalah gambaran dari kaum tersingkirkan dan tak terbilang?’

Baca juga yang ini; Renungan Harian Katolik; TETAPI, Gereja juga tempat arena pengampunan dosa 

Ternyata, jarak antara si Kaya dan Lazarus, si miskin, tidak tercipta saat keduanya telah mati. Bahwa Lazarus kini ada jauh di sana, di pangkuan Abraham. Sementara si Kaya itu ada dalam derita alam maut. Tidak! Jarak itu tercipta saat keduanya masih hidup. Saat ada perbedaan dalam mengelolah dan bertarung dalam hidup. Ketika “ego diri yang cemas” sungguh dijarakkan secara nyata dari ‘keharusan untuk berbelah rasa dan memperhatikan.’

Mungkinkah kita termasuk dalam kelompok elitis “pakaian ungu, kain halus, sukaria dalam kemewahan?” Kelompok penuh gelisah akan diri sendiri? Dan lalu berniat merawat diri dan hidup demi diri sendiri sejadinya tanpa mau menoleh pada yang lain? Di situlah, jarak hidup telah tercipta untuk nanti tetap bertahanlah jarak itu pada hari akhirat nanti. Renungkanlah apa yang diserukan oleh Bapa Abraham:
“Selain itu, di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu atau pun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang…” (Luk 19:26)

Kedua, “Saat mewah, biar dekat ‘lupa’; saat derita, biar jauh ‘kenal.” Lazarus, si miskin itu, sungguh ada tepat di depan mata, sosok di muka hidung si kaya. Namun, yang di depan mata itu (si miskin) tak dilihat (pura-pura tak lihat), tak digubris, tak menjadi titik perhatian. Si kaya terjerat sungguh dalam perangkap kain ungu dan halus serta kemewahan.

Baca juga yang ini; Aksi Laudato si ; Pungut Sampah dari Gerakan Sporadis menuju Habitual

Saat si kaya telah dalam alam maut, heran dan anehnya, ‘biar jauh di sana, ia bisa mengenal Lazarus di pangkuan Abraham:

Sementara menderita sengsara di alam maut, ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya.
Lalu ia berseru, ‘Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini.’ (Luk 16:23-24)

Hati-hatilah dengan ‘kegelisahan akan diri sendiri yang keterlaluan.’ Kita, sekali lagi, tergoda untuk merawat diri dan hidup sendiri sejadi-jadinya. Akibatnya, kita jadi rabun akan nasib hidup sesama.

Saat ‘di atas angin,’ kita bisa berfoyah-foyah dalam segala apa yang dianggap sebagai hak, usaha dan kepunyaan sendiri. Ada kalimat yang menyentil: “Iya, sudah kaya dan mewah, sudah jadi orang… jadinya lupa orang, lupa sesama, lupa semuanya, bahkan sudah lupa pada diri sendiri. Sebab yang teringat dan terbelit dalam alam pikiran adalah “kegelisahannya belaka.”
Yesus, Guru dan Tuhan, sungguh ingin menggugah hati para pendengarnya untuk satu tindakan belaskasih dan penuh perhatian pada sesama. Bukan kah cara hidup, sikap, tindakan dan perbuatan serta kata-kata ajaranNya adalah ketegasan untuk berbelaskasih kepada yang malang nasibnya?

Ketiga, “antara mati lalu dikuburkan dan mati lalu dibawa oleh malaekat-malaekat ke pangkuan Abraham.” Masih ada hari esok! Setiap kita harus menyongsong hari akhir. Saat ziarah hidup kita di dunia mesti terhenti. Kita kembali ke asal setiap kita. Maut, di bawah judul baku kematian, menjadi tak terhindarkan! Kita rindukan ‘tangan-tangan para malaekat’ untuk menuntun kita menuju pangkuan Abraham. Sebab, kita tak ingin untuk tetap dalam ‘kegelapan makam.’ Kita tidak berharap untuk jadi sasaran selamanya dalam nyala api kekal. Kita rindukan “pangkuan Abraham.” Hati kita sungguh terarah pada Rumah Kekal, Peristirahatan Abadi.


Di titik inilah mari kita renungkan pula sentilan namun penuh tegasan dari Rasul Paulus:

“Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” (2Kor 5:1).
“Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu” (Yoh 14:1-2)

Akhirnya…

Semoga kita bebas dari keterikatan dan keterlekatan “jubah ungu dan kain halus serta kemewahan.” Bebas dari segala kecemasan dan kegelisahan, kita berziarah dalam hidup sebagai saudara-saudari dalam saling memperhatikan, menuju pangkuan Abraham. Rumah tanpa jarak. Tanpa jurang yang lebar dan dalam. Sebab kita semua adalah anak-anak Abraham yang dikasihi!

Verbo Dei Amorem Spiranti
Selamat Hari Minggu
Tuhan memberkati.
Amin

Posting Komentar

0 Komentar