Header Ads Widget

Pojok KITAB SUCI; Dunia Mesti Melonjak-Lonjak Kegirangan

Dunia Mesti Melonjak-Lonjak Kegirangan
-Bacalah Injil Lukas 1:39-56

“Kita melihat kebahagiaan itu seperti pelangi, tidak pernah berada persis di atas kepala kita sendiri, tetapi selalu berada di atas kepala orang lain”
(Thomas Hardy, novelis, Inggris, 1840-1928)

P. Kons Beo, SVD


Terkadang kita suka sekali merawat kesedihan. Kita mempersoleknya dengan, misalnya, mengundang lagu-lagu halu nan baperan. Kata orang, lagu-lagu seperti itu ‘jurusnya hanya mau makan orang saja.’ Di dua tiga bulan belakangan ini memang sudah tenar Kheisya Levronka dengan tembang Tak Ingin Usai bikinan Mario G Klau. Puluhan juta lebih orang telah terhipnoptis dan terpukau oleh lyrik, melodi serta karakter vokal Kheisya.


Singkat cerita, lukisan lagu itu kiranya gambakan suasana hati tersekap pilu. Itulah episode cinta yang mesti ditamatkan. Sepertinya hilang. Tanpa harapan. Memang sulit menerima kenyataan itu. Sebab katanya, ‘tak ingin cinta usai di sini.’ Sedih memang. 

Bagaimanapun, tetap ada sepotong harapan. Walau terasa menyayat perih, “Berharap suatu saat nanti kau dan aku kan bertemu lagi. S’perti yang kau ucapkan s’belum kau tinggalkan aku..”

Kita sedih, ya karena kita manusia ber-emosi. Wajarlah! Manusia yang sehat emosi, pasti tahu ungkapkan perasaannya. Tentu karena ada hal yang sungguh masuk di jiwa. Hinggap di bilik perasaan. Sungguh gawat, andaikan kita memang ‘mati rasa, tak berperasaan, dan tak peduli pada kenyataan yang menuntut rasa.’

Tetapi di keseharian, kita mungkin dapatkan ungkapan harapan dari sahabat dan para kenalan. Isinya, misalnya, “Jangan lupa bahagia!” Ini sepertinya, ada yang dilupakan dalam hidup, yakni: kebahagiaan itu. 


Sebab kita terkadang lebih tertarik dan memanjakan yang ‘bikin darah tinggi sembarang atau yang sekian baperan menikam jantung.” Ada lupa akan banyak hal lain yang ‘bikin hati kita melonjak-lonjak.’
Lihat misalnya! Adakah yang istimewa dari satu kunjungan oleh para sahabat dan orang-orang terkasih? Yakinlah! Di situ, rasa penuh sukacita jadi sulit terbendung. Kita terhenyak dan tersentak. Kegembiraan jadi potret perjumpaan penuh warna. ‘Semuanya menjadi asyik hingga keasyikan.’ Itulah indahnya bila sudah berjumpa dengan ‘yang urat cocok dan sama merek.’

Kunjungan Maria ke pegunungan, ke rumah Zakharia dan Elizabet, berdampak pada ‘lonjak-lonjak penuh sukacita.’ Dapat dibayangkan, Anak yang ada dalam rahim Elizabet melonjak-lonjak kegirangan. Dan Elizabet pun larut dalam Kuasa Roh Kudus, hingga mesti berseru, “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk 1:43).

Apakah yang hendak direnungkan dari kisah ‘perjumpaan Maria dan Elizabet’ untuk ziarah iman kita?

Baca juga yang ini : 
Paroki Ekaristi Kudus Ka Redong di tengah Festival Golo Koe Labuan Bajo

Pertama, “Yang dibawa Maria adalah dirinya dan terutama Anak yang ada di dalam rahimnya.’ Inilah yang jadi hadiah mulia yang dibawa Maria bagi Elizabet dan Zakaria serta seisi rumah. Tidakkah ‘Hadiah Mulia’ ini membawa sukacita dan kegembiraan?’

Anak yang di dalam rahim Maria adalah Kepenuhan Kabar Gembira. Elizabet dan anak yang di dalam rahimnya sekian tak terlukiskan untuk bersukacita. Kehadiran dan kunjungan Maria sungguh membawa harapan baru. Untuk satu masa depan keselamatan yang datang dari Allah.
Mari teladanilah Bunda Maria ‘yang dipermuliakan ke atas surga.’ Apa dan siapakah yang hadir dan menetap di dalam diri kita? Yang kita bawa dalam ‘hidup dan ziarah iman kita?’ Kehadiran Yesus, Kepenuhan Kabar Sukacita (Injil) di dalam diri kita pasti membawa harapan bagi dunia dan sesama.

Sebaliknya, sesama jadi ‘jantungan dan sering makan hati juga’ sebab yang dihadirkan oleh kita adalah ‘lawan dari Kabar Gembira.’ Orang kehilangan ‘hati yang melonjak-lonjak’ dan segala aha moment penuh ceriah. Sebab yang kita bawa adalah modal-modal dan virus malapetaka yang meracuni harapan dan sukacita sesama. Kita hancurkan rasa hati spontan dan kemerdekaan hati sesama.

Kedua, “Kegembiraan dicapai lewat berbagi kegembiraan.” Apa yang ditunjukkan Bunda Maria adalah tinggalkan Nazaret untuk beralih ke pegunungan. Tidakkah ini adalah satu dinamika yang nyata? Sukacita sungguh menjadi satu sukacita ketika ada ketulusan hati untuk berbagi.

Kunjungan Bunda Maria adalah tanda sukacita untuk berbagi itu. Untuk meneruskannya kepada Elizabet, sanaknya. Bunda Maria tak terpenjara dalam satu ‘stabilitas loci yang eror’ demi mengurung rasa sukacita hanya bagi dirinya sendiri.


Kita mungkin terlalu asyik dalam ‘kerja, usaha, tempat, minat, hoby, serta sekian banyak cabang-ranting kesukaan dan keasyikan kita’ hingga kita jadi tak peduli lagi dengan sesama yang menanti kita berbagi kegembiraan.
Di dunia yang makin canggih ini, terdapat kecenderungan kuat untuk membangun tembok tinggi dan tebal untuk ‘amankan rasa aman dan bahagiaku sendiri.’ Dan orang jadinya ‘lupa pulang pada sesama.’ Orang asyik dalam ‘sukacita kamar dan areanya sendiri sampai lupa bahwa ia sebenarnya seatap dan serumah dengan yang lain.’ Gawat sudah!
Sebab itu, tinggalkan dulu alam kerajaan kita. Merapatlah serta bertarunglah untuk satu blusukan injili. Yang membawa sukacita dan harapan bagi sesama.

Ketiga, “Sukacita yang benar selalu berasal dan berada di dalam Tuhan sendiri….”

Pada titiknya, Bunda Maria ungkapkan nada-nada Pujian Sukacitanya. Magnifikat adalah nyanyian penuh sukacita seorang hamba yang lemah dan rapuh. Namun, “Sukacita itu nyata dan hadir sebab Allah adalah Juruselamatku” (Luk 1:46).

Di awal berita surgawi melalui Malaikat Tuhan, Bunda Maria ada dalam situasi penuh gentar. Ia bakal tak mengerti akan semuanya. Ia mesti melewati jalan penuh rintangan itu dalam alam penuh tanya. Kegelisahan sungguh jadi milik di hati dan di jiwanya.
Namun, semuanya berakhir dalam satu perjumpaan ke pegunungan itu. Keadaan berbalik saat kekuatan iman dan kepasrahannya pada Tuhan semakin mendalam. Bukankah ini menjadi satu keyakinan besar bagi Bunda Maria saat ia berseru, “Sesungguhnya, mulai dari sekarang, segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, sebab Yang Mahakuasa telah melakukan perbutan besar kepadaku…..” (Luk 1:48-49).

Baca juga yang ini; 
Renungan Harian KATOLIK : ORANG yang berjiwa besar selalu berjalan menuju cita-cita

Sukacita dan kegembiraan yang wajar dan apalagi sempurna tidak akan pernah kita alami saat kita hanya berpikir melulu pada diri sendiri yang cemas. Yang dibelit oleh tali temali egosentrik yang sungguh menjerat.

Sukacita yang benar hanya datang dari Tuhan. Tuhan yang sanggup membebaskan kita pada belitan ingat diri yang sungguh merisaukan. Agar kita berani menuju kepada sesama dan dunia yang lebih luas. Akan tiba saatnya nanti, ketika kita telah tahu apa artinya menjadi pembawa sukacita dan berbagi kegembiraan, kita pun menjadi insan-insan yang dimulaikan Tuhan ‘ke tempat yang tinggi.’ Seperti Bunda Maria yang diangkat dengan jiwa dan raganya ke tempat yang pantas baginya.

Baca juga yang ini : 
Koperasi Simpan Pinjam CU Florette dorong anggota untuk mengembangkan bisnis

Akhirnya…

Bagaimanapun latih dirilah menjadi orang yang ‘penuh sukacita dan penuh harapan.’ Ingatlah lagi ajakan indah itu: “Jangan lupa bahagia!” Mungkin juga ‘kurangilah segala lagu bernada minor penuh kelabu itu. Seirama pikiran Thomas Hardy, yakinlah bahwa pelangi kehidupan yang indah tak pernah teralami penuh pada diri kita sendiri. Tetapi kita memandangnya di atas kepala orang-orang lain….
Saat sesama ada dalam sukacita atas keberhasilannya, dalam perubahan jalan dan nasib yang baik dalam Kasih Tuhan dan sesama, dalam tercapainya cita-cita, dan di dalam segala warna pelangi kehidupannya, dan dalam segala ‘rasa hati penuh lonjak-lonjak’, tidak kah di situ kita pun merasakan kepenuhan rasa sukacita kita sendiri?

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma


















Posting Komentar

0 Komentar