Header Ads Widget

Pater Nus Nurek; Kisah dari seorang misionaris asal Flores di tanah Congo Afrika

BAHKAN DI TEMPAT RANTAU ANDA MASIH MINUM "TUAK"

Pater Nus Nurek, SVD


umpungjayasiar,Congo. Di CFC - rumah para frater Teologan - beberapa bulan terakhir menjadi tempat nginap bagi kami yang sedang kursus bahasa Perancis. Ada satu hal menarik yang rutin terjadi di rumah kecil ini. Setiap Rabu, ada moment untuk rekreasi bersama. Bukan hal baru sebetulnya, tapi apa yang disuguhkan dan disajikan pada malam rekreasi ini, memberi kesan tersendiri. 

Pertama, mungkin sangat biasa. Kami berkumpul bersama di ruang rekreasi. Tetapi ini adalah kumpulan orang-orang dari berbagai negara. Terkesan sangat "internasional". Anda akan menemukan orang Ghana di sana. Juga beberapa dari Togo, Angola, Zimbabwe, Kenya, Polandia, Vietnam, Indonesia, dan tentu dari Kongo sebagai tuan rumah. Semuanya disatukan dalam nuansa keceriaan dan kegembiraan di ruang rekreasi.

Baca juga yang ini; 
Renungan Harian KATOLIK; YANG diperbuat oleh para elitis itu bersumber pada geliat hati yang terbatas

Kedua, sesuatu yang baru akan selalu ada. Tentu, di malam rekreasi itu, kadang anda akan menemukan para frater menampilkan tarian khas dari daerah atau negara masing-masing. Beragam goyangan yang unik dan sangat menarik. Bagaimana? Tentu sebagai orang Indonesia, kami cukup terbiasa dengan tarian jai, dolo-dolo, gawi, dan atau tebe. Bagaimana dengan goyang Bento yang katanya sedang viral di Flores? Voila, saya tidak tahu. Tetapi dengan goyang yang demikian ekspresif, mungkin itu adalah goyang dengan style Afrika. Lihat saja. Ketika orang Afrika bergoyang, lekuk-lekuk badan, pinggul, pinggang, bahkan pantat sungguh luar biasa. Ekspresif dan semarak.

Baca juga yang ini; Pojok KITAB SUCI : Pintu Itu Harus Dibukakan Pula Bagi Kita

Ketiga, aneka minuman alkohol dan bersoda jadi teman wajib. Siapa yang tak suka? Anda tinggal pilih, bir beraneka jenis, anggur dengan berbagai label, sampai minuman kelas ringan: Fanta, Sprite, Coca-Cola, dll. Kata para frater di sini, fanta atau soda semacam itu, adalah minuman ibu-ibu. Saya percaya saja, sehingga saya lebih memilih Bir atau anggur. Kadang Beuffort. Kadang Castel. Tetapi saya lebih suka King Turbo. Ya, begitulah.
Tetapi tampaknya ada yang paling unik untuk rekreasi Rabu baru-baru ini. Di meja dihidangkan tiga botol Aqua. Isinya mengejutkan. "Ini rupanya "Tuak", coletah rekan senegaranya saya. Benar sekali. Minuman yang menarik banyak hal: Antara Nostalgia dan Kebiasaan, Antara Masa Lalu dan Masa Depan, atau antara perasaan semata. Lebih mengejutkan lagi mendengar komentar teman saya: "Merantau Jauh-jauh, terpisah laut dan daratan, bahkan sampai langgar benua, tetap ketemu dengan Tuak." Serentak saya jadi ingat kata orang bijak: "Di bawah laut atau samudera sekalipun tetap masih ada daratan". Mungkin bisa diartikan begini: Kalau cinta itu tak membedakan ras, tempat, atau soal rasa, maka tuak sebagai minuman persaudaraan juga tak membeda-bedakan.


Mari minum tuak. Kalau mabuk, pergilah tidur. Dua- tiga gelas, bersulang. Dua-tiga teguk, tertawa bersama. Sebab inilah moment persaudaran untuk kami yang beda rahim, beda bahasa, beda negara. Tetapi, mari tetap satu dalam coletah lepas: "Bahkan di Afrika, tetap ada persahabatan dan persaudaraan di Tuak yang hanya segelas."


Pater Nus Nurek, SVD,Kinshasa, 26 Août 2022

Posting Komentar

0 Komentar