Header Ads Widget

Pojok Kitab Suci ; Berita Kepada Kawan Adalah Berita Damai

Berita Kepada Kawan Adalah Berita Damai

(bacalah Injil Lukas 10:1-12.17-20)

“Ketika kekuasaan cinta mengalahkan cinta kekuasaan, dunia akan mengenal perdamaian

-Anonim-

Kedamaian semakin meredup oleh tindakan dan sikap yang melecehkan. Saat sesama hanya diperlakukan sebagai sasaran hinaan penuh kebencian. Ingatlah! Tak pernah ada kedamaian yang digapai dengan pedang kekerasan apapun

P. Kons Beo, SVD


Sekali anak domba tetaplah anak domba

Tujuh puluh orang murid itu ditunjuk Yesus. DiutusNya mereka berdua-dua ke setiap kota. Berdua mesti memberikan kesaksian teguh tentang Keselamatan. Juga tentang DIA yang akan mengunjungi kota-kota itu. Yesus, Tuhan dan Guru punya ketentuan praktis dalam perutusan itu. Katakan saja sebagai alarm dalam tugas perutusan. Tentu semuanya dimaksudkan agar inti kehadiran dan perwartaan tidak menjadi redup. Apalagi bila harus jadi sirna.

DiutusNya para murid “seperti anak domba ke tengah-tengah serigala” (Luk 10:3). Tempat tujuan perutusan sering bukanlah alam bersahabat. ‘Bau-bau serigala’ siap menantang. Itulah gambaran situasi tak bersahabat. Kasar. Penuh kekerasan. Dan menjadi lebih berbahaya saat alam kemunafikan dunia tampilkan gambaran palsu “bagai serigala berbulu domba.”

Tetaplah tenang! Bendera kelembutan dan sejuk tetap berkibarlah di hati. “Sekali anak domba, tetaplah anak domba. Jangan berubah se-agresif bagai serigala. Apalagi melampaui serigala.” Kira-kita begitulah harapan Tuhan. Kekerasan berbalas kekerasan hanya akan lahirkan kekerasan yang tak bertepi. Sungguh tak mudah. Ini diandaikan sekiranya para murid, kita, sekian terperdaya untuk cekatan lancarkan ‘serangan balik berpeluru balas dendam.’

Hati yang tak terlekat

Masih ada lagi kata-kata peringatan dari Tuhan. Ini menyangkut hati yang terlekat atau yang memburu demi terisinya “pundi-pundi dan kantong perbekalan” (Luk 10: 4). Mamon bukanlah orientasi prima dari perutusan dan pelayanan. Demikian halnya dengan sepasang kasut yang tak mesti dibawa. Barangkali saja ditafsir sebagai simbol kerendahan hati. Biarkan telapak kaki tetap bersentuhan langsung ke tanah. Tanda kerendahan hatii. Dan memang seorang murid tetap merendah dalam sikap. Tak boleh ‘sekian melayang dari tanah.’

Menjadi bagian inti dari ‘rumah dan tempat perutusan’ mesti menjadi perjuangan dan pertarungan. Maka, para murid mesti hayati sebuah jalan hidup yang ‘inculturated.’ Seruan “tinggallah dalam rumah itu, dan makan dan minumlah apa yang diberikan kepadamu” (Luk 10:7) adalah bagian dari ‘kisah kehadiran dan perutusan yang membumi.’ Yang mempersatukan diri para murid dan kita semua dengan segenap anggota keluarga dan jemaat. Dengan masyarakat luas.

Damai adalah kisah kita

Jarak kehadiran yang menyapa tentu akan berdampak pada ‘proses menyembuhkan.’ “Sembuhkan orang-orang sakit” tentu berawal dari bobot kehadiran dan sapaan. Dunia yang terluka dan terasing adalah area yang dihuni oleh ‘sekian banyak orang sakit dan terlantar’ dalam banyak keadaan dan situasinya. Maka, kita, di zaman yang semakin maju namun ciptakan banyak atmofer keterasingan yang membawa luka dan duka ini, terpanggil untuk menyembuhkan!

Di atas segalanya, amanat kunci perutusan dari Tuhan adalah seruan “DAMAI bagi rumah ini.” Inti amanat itu tetap berjalan sepanjang waktu. Kapan dan di mana saja. “Kerajaan surga sudah dekat padamu” (Luk 10:9) saat dunia sungguh mengalami alam damai. Dan manusia itu sendirilah yang mesti menjadi pangeran dan insan perdamaian itu sendiri.

Luka-Luka Perdamaian

Kita sepatutnya tak surut dalam perjuangan demi kedamaian dalam hidup. Sekian banyak orang hidup dalam kecemasan. Panik akan sebuah masa depan tak menentu. Kekerasan nampaknya tak berkesurutan untuk tiba di titik akhir. Percecokan terjadi di sana-sini. Rasa nyaman dan teduh di hati jadi terpolusi oleh agresi kata-kata tak beretika. Fitnah dan caci maki meracuni kekariban. Semakin menjaraklah kekuatan untuk saling menyapa penuh kehangatan. Kedamaian semakin meredup oleh tindakan dan sikap yang melecehkan. Saat sesama hanya diperlakukan sebagai sasaran hinaan penuh kebencian. Ingatlah! Tak pernah ada kedamaian yang digapai dengan pedang kekerasan apapun. Hanya untuk menyingkirkan orang lain. Ilusi kedamaian seperti itu tentu hanya akan memperpanjang badai kekerasan. Damai ada di sini, di dalam jiwa ini


Alarm di dalam batin memang mesti dipasang. Kata si bijak, “Kita tidak bisa mendapatkan kedamaian di dunia luar sampai kita dapat berdamai dengan diri sendiri.” Tidak nyaman dengan diri sendiri adalah embrio untuk ketidaknyamanan yang lebih luas. Tidak nyaman dengan hidup keagamaan sendiri adalah cikal bakal untuk variasi tindakan persekusi terhadap keyakinan orang lain.

Kedamaian tidak pernah dicapai dengan menistakan atau mengkafir-haramkan sesama. Sebaliknya hal itu hanya mempertontonkan kerancuan dan kemunafikan sikap kita sendiri. Pejuang, pemerhati serta pencipta kedamaian selalu bertarung untuk membuka ‘ruang hatinya selebar dan seluasnya.’ Semuanya demi menerima siapapun. Tanpa syarat!

Kerajaan Allah: Kerajaan Damai, Kerajaan Kasih

Di atas segalanya, Kerajaan Damai dalah Kerajaan Kasih. Itulah gambaran dari Kerajaan Allah sendiri. Dalam Kerajaan Allah, hanya cintakasih lah yang menjadi senjata utama. Setiap kita berjuang agar kekuasan cinta itu mampu mengalah cinta akan kekuasaan! Sebab di situlah kedamaian akan bersemi dan hidup.
Sementara dalam arus cinta akan kekuasaan, kedamaian menjadi semakin redup dan bahkan melenyap. Sebab di situ nurani menjadi suram, sekian banyak orang jadi korban dari ketidakadilan. Kekerasan semakin mewabah. Aura pertikaian semakin mengental.

Akhir Kata…

Tetapi, mestikah kita berputus asa? Haruskah kita menyerah dan merasa kapok untuk sebuah itikad luhur-mulia demi perdamaian? Kita mesti berjuang untuk tetap berwibawa demi mengucapkan: Damai atas rumah ini! Dan di sinilah hidup kita tetap menjadi sebuah cerita tentang kasih. Sebuah berita kepada kawan, kepada sesama dan kepada dunia tentang kedamaian. Dan tentunya tetap tersimpan cerita untuk hari esok: agar jangan biarkan damai ini pergi… jangan biarkan semuanya berlalu!


Bukan kah demikian?



Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro-Roma 


Posting Komentar

0 Komentar