Header Ads Widget

POJOK KITAB SUCI ; Kita Tak Boleh Tercerai Oleh Kerancuan Berbahasa

 

Kita Tak Boleh Tercerai Oleh Kerancuan Berbahasa

(sebuah permenungan di Hari Pentekosten)

foto menara babel
Keruntuhan Menara Babel

 “Allah Roh Kudus, datanglah dalam jiwa kami dan dalam hati kami. Terangilah dan kuatkanlah kami dengan karunia Ilahi-Mu, agar dengan jelas kami mengetahui ilham-Mu dan melaksanakannya dengan setia”

(St Arnoldus Janssen, 1837-1909, Pendiri SVD – SSpS – SSpS AP)

 

P. Kons Beo, SVD

 Ambruknya ‘Komunikasi babelian’

 

Yang kita tangkap dari kisah menara Babel itu sungguh  mencekam. Lukisan itu tak sebatas hanya tentang runtuhnya sebuah bangunan fisik. Tapi juga tentang menjulangnya satu peradapan ‘liar dan sembrono’ yang hendak diagungkan. Manusia hendak mencapai langit. Bahkan, bukan tak mungkin ia hendak mencakar langit. Tetapi, bukan kah ‘langit adalah takhta Allah’ (cf Yes 66:1)? Sungguh berniat kah manusia mengobrak-obrik singgasana ilahi?

Kisah Kitab Kejadian 11 bentangkan kesepakatan suram itu. “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan mari kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi” (Kej 11:4). Namun, simbol kesombongan manusia itu mesti berakhir. Tuhan telah pastikan satu kekacauan berbahasa.

Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing” (Kej 11:7). Khaos dalam berbahasa terjadi. Komunikasi jadi macet. Tak ada lagi satu pemahaman yang memperkaribkan satu dengan yang lain. Manusia harus menjauh satu dari yang lain. Sungguh satu akibat nyata yang harus dialami. “Demikianlah mereka diserakkan Tuhan dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu” (Kej 11:8).

Manusia Sudah Menjarak

Telusurilah kisah-kisah keretakan komunikasi di antara manusia. Tidak kah saling menjarak, menjauh, meninggalkan dalam nuansa negatif telah terjadi? Ketidakpedulian tercipta. Ego-diri menebal. Sebab, yang mau dipikirkan adalah kenyamanan diri sendiri.

Manusia bisa saja ‘kembali pada sesamanya.’ Namun sering tidak dalam alam sejuk segar penuh damai. Manusia hanya mau mendekati sesamanya dalam narasi dan tindakan destruktif. Sebab, ketidakcerdasan dalam berbahasa sudah terjadi. Tangan dan kaki sudah jadi ringan untuk memberangus sesama.

Luka-luka kemanusiaan sekian tersayat oleh vulgarisme verbal. Manusia hanya mau dan senang bicara tentang sesamanya dalam komparasi peyoratif (merendahkan/menghina). Di situ, betapa sulitnya bila harus melihat sisi pelangi indah dalam diri dan hidup sesama. Yang disukai hanyalah tertahan pada sisi suram nan kelam.

Dan menjadi lebih dramatis saat telah menjadi jarang bahkan punah kata-kata berpengharapan. Dunia sepertinya telah disumpeki oleh bahasa-bahasa dakwaan yang pastikan nasib maut yang tertimpa pada sesama. Terlalu murah meriah untuk mengkafirkan, mendungukan, mengharamkan atau pun membiadabkan jalan hidup sesama.

Bahasa Babel Modern Mesti Ditanggalkan

‘Menara Babel modern’ telah dibangun. Ditinggikan dan diagungkan. Itulah jatidiri manusia yang distortif dan deviatif. Menara babel kedirian yang dipilari oleh tiang-tiang keangkuhan, kesombongan, serta kekerasan dalam berbahasa, bersikap dan bertindak! Di titik inilah, sepantasnya kita mesti rehat sejenak. Untuk mendaur ulang nurani dan isi kepala kita. Demi melihat dunia dan sesama dengan lebih terbuka, luas dan jernih serta sejuk segar.

Terlalu lama dunia dirantai oleh kebohongan! Sekian lama dibelenggu oleh aneka kepalsuan. Manusia sebetulnya rindukan alam kotemplasi. Tapi ini bukanlah kisah ziarah jiwa nan mengawang. Kata si bijak, “kontemplasi ini menuntut ketenangan pikiran dan waktu kita.” Sungguh benar bahwa “salah satu krisis kebenaran adalah bahwa hidup kita begitu tergesa-gesa dan sangat sibuk sehingga kita tidak punya waktu untuk melihat satu sama lain dan sesuatu dengan tepat.”

Kita mesti ulangi lagi kebenaran dalam memandang sesama dengan tepat. Ingatlah bahwa “Bagi seorang Kristen, kebohongan yang besar adalah memandang orang lain tanpa belas kasihan, menutup mata kita terhadap kebaikan mereka sebagai manusia dan membenani mereka dengan beban-beban dosa mereka.”

Mari Berbahasa dalam Kebenaran dan Kerendahan Hati

Santo Thomas Aquino sungguh istimewa! Keyakinannya jelas dan mendalam. Untuk dapat melihat dunia dengan benar, kerendahan hati dan kejernian nurani adalah syarat tak terhindarkan. Sebab seturut St Thomas Aquino: Di situlah, kita akan melihat kebaikan dunia! Dan tentunya pula menelusuri kebaikan-kebaikan dalam diri sesama kita.

Tetapi manusia pun semakin menjarak oleh membaranya api kebencian! Di situ sesama telah diubah menjadi ‘simbol-simbol yang mengancam kenyamananku!!’ Sesama telah direnggut dari jati dirinya sebagai pribadi. Dan di situ, kita hanya berkeyakinan bahwa takhta kenyamananku kokoh kuat saat ‘yang dibenci, ya musuh itu’ telah disingkirkan bahkan disenyaplenyapkan.

Betapa sesungguhnya ‘menara babel kenyamanan palsu’ dibangun dengan menyingkirkan sesama. Di situ, arus kebencian sungguh menggelora. Mengapa kah selalu ada keyakinan “saya akan merasa sejuk dan damai di hati jika sesama (yang telah ‘ditahbiskan’ sebagai musuh) dijauhkan, disingkirkan serta tak punya tempat dalam segala percaturan cita-cita dan ambisi ku?”

Mengapa kah kita lebih berkiblat pada alam manusia lama yang sumpek dengan virus kebencian dari pada sepantasnya memilih kerendahan hati untuk berdamai dan saling mengampuni? Menara babel ‘manusia lama’ nampaknya tetap terbangun dalam segala macam propaganda yang merusakkan dan mengaburkan rasa penuh kekariban antar manusia.

Bahasa Pentekosten: Ketika Hati Mesti Berjumpa Kembali

Kini saatnya, kita mesti diterangi oleh kehangatan cahaya dan api Pentekosten. “Utuslah Roh-Mu, ya Tuhan! Dan jadi baru seluruh muka bumi….” Dunia dan isi kehidupan ini telah tercabik-cabik oleh kerancuan berbahasa. Iya, itulah bahasa nurani – suara hati, bahasa dan kata yang terucap, pun bahasa-tubuh yang terungkapkan.

Kita seyogianya renungkan sekali lagi kata-kata Martin Luther King (1929-1968), “Kita telah belajar terbang bagai burung, berenang di laut bagai ikan, tetapi belum belajar bagaimana berjalan di bumi sebagai saudara….”

Kisah Para Rasul membentangkan kepada kita satu keheranan inspiratif, darinya kita mesti belajar untuk saling merekatkan diri dalam satu bahasa. “Et quòmodo nos audìvimus unusquìsque linguam nostram, in qua nati sumus?” (Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita? Kis 2:8).

Akhirnya…

Kerancuan berbahasa ala “menara Babel” dengan segala auranya yang menceraiberaikan itu mesti segera ditinggalkan. Saatnya dunia, manusia dan kita sendiri mesti memakai bahasa baru. Itulah bahasa pengharapan, itulah bahasa Kasih, itulah bahasa Roh yang sungguh nampak dalam buah-buahnya merekatkan persaudaraan dalam kemanusiaan: “Kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri…” (Gal 5:22-23).

Bagaimana pun semua kita mesti lanjutkan perjalanan hidup ini. Dalam semangat berbahasa yang baru. Kita semua mesti tiba pada cita-cita kehidupan bersama yang ceriah. Demi sebuah bahasa baru, maka “Jika ada jarum yang patah, janganlah disimpan di dalam peti; Jika ada kata yang salah, janganlah disimpan di dalam hati.” Sebab, itu tadi, kita mesti memulai lagi dengan bahasa baru. Yang tak rancu.

 

Verbo Dei Amorem Spiranti

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar